Selasa, 20 Maret 2012

CRICKET, MENYEBRANGI HETEROGENITAS BANGSA INDONESIA


Berbeda-beda tapi satu itulah bangsa Indonesia. Satu tapi berbeda-beda itulah cricket Indonesia. Mungkin kalimat di atas susah untuk dipahami karena sekilas terlihat sama dan tidak memiliki perbedaan makan atau arti. Tapi, sesungguhnya memiliki perbedaan yang sangat jauh dan layak untuk diproblematisir.

Marthin Buber seorang Filsuf eksistensialis berpendapat, bahawa dalam relasi intersubjektivitas manusia harus mengedepankan relasi I-Thou, Saya-Anda, bukan I-It, Saya-Benda. Kecendrungan relasi I-It adalah relasi subje-objek sehingga mereduksi eksistensi orang lain menjadi benda dan orang lain kerap diekploitasi demi eksistensi Saya. Buber berpendapat relasi I-Thou merupakan relasi subjek dengan subjek, sehingga yang lain tidak dieksploitasi tetapi dihargai sebagaimana saya mau diperlakukan. Menurut Buber, bahwa dalam relasi I-Thou kita bisa menyaksikan kehadairan Allah melalui sesama.

Republik Indonesia memiliki kecendrungan relasi antar masnusia seperti yang ditawarkan Marthin Buber, I-Thou. Relasi I-Thou mengajarkan agar kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita mau diperlakukan. Pemikiran seperti inilah yang telah menjadi ‘perekat’ keutuhn bangsa Indonesia yang sangat heterogen. Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan baku dan bila diutak-atik akan melahirkan prahara.  Tapi benarkah dengan mengeneralisasi keunikan dari setiap orang menjadi seperti saya sebagai solusi konkrit untuk mencegah conflik SARA di Republik para koruptor ini?

Pemikiran Buber dikritik oleh filsuf eksistensialis lainnya, Emanuel Levinas. Levinas berpendapat, bahwa bahwa mereduksi orang lain menjadi sama seperti saya merupakan kesalahan besar. Setiap pribadi itu unik adanya dan keunikan dari setiap pribadi harus dihargai.  Kecendrungan pemikiran Buber, menurut Levinas adalah menghilangkan keunikan-keunikan yang dimiliki orang lain sehingga orang lain menjadi sama seperti saya. Keliru besar!

Levinas menawarkan solusi yang lebih menghargai keunikan dari orang lain.  Kita harus melihat orang lain sebagai yang lain (the others), bukan sebagai sama seperti saya. Saya uniq adanya dan yang lain pun demikian. Belum tentu apa yang boleh diperlakukan kepada saya, boleh juga diperlakukan bagi yang lain. Ini yang menjadi pertimbangan levinas menegasi I-Thou yang ditawarkan Marthin Buber. Dengan mengahargai keunikan dari yang lain berarti kita dapat menerima perbedaan dan keunikan saya dan yang lain merupakan tanda kehadiran Allah.

Dasar pemikiran bahwa bangsa Indonesai adalah Satu tapi berbeda-beda merupakan konsep yang ditawarkan Emanuel levinas dalam menjalin relasi sesama anak bangsa ditengah heterogenitas yang kerap menibulkan konflik SARA. Berbeda-beda tapi satu (Bhineka Tunggal Ika) merupakan konsep yang ajeg. Berbeda-beda suku agama, ras dan golongan tapi satu yaitu Indonesia.
Pemikiran ini kerap mengeneralisir perbedaan yang ada dalam tubuh bangsa Indonesia, bahkan memiliki kecendrungan untuk direduksi ke dalam peradaban dan tradisi tertentu. Perekonomian misalnya, gaya hidup konsumtive di Jakarta selalu menjadi barometer gaya hidup untuk seluruh wilayah nusantara, tanpa mempertimbangkan sumber penghasilan di daerah-daerah lain yang sama sekali berbeda dengan Jakarta.

Gaya hidup korupsi para pejabat tinggi Indonesia yang tinggal di Jakarta juga telah menjadi budaya yang menjamur di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta. Merebaknya korupsi disetiap daerah tidak menjadi hal yang terlalu mengagetkan karena kita mengedepakan kebhinekaan, berbeda-beda tapi satu. Kita boleh berbeda provinsi, kabupaten, suku, agama dan lainnya, tapi kita satu dalam budaya korupsi.

Bhineka tunggal ika yang menjadi legitimator kejahatan-kejahatan budaya birokrasi bangsa Indonesia  layak untuk diproblematisir dan didiskusi ulang. Satu tapi berbeda-beda, mungkin menjadi tawaran baru untuk menjadi semboyan bangsa Indonesia. Kita satu sebagai bangsa Indonesia, tapi kita tidak satu dalam segala hal, termasuk korupsi. Bila korupsi menjadi budaya usang yang terus menuntun masyarakat metropolitan, maka itu tidak menjadi barang tentu berlaku di daerah-daerah lain seperti Jogja, Bali, NTT dan sebagainya.

Satu tapi berbeda-beda merupakan cara baru untuk menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal bangsa Indonesia. Satu tapi berbeda-beda mengundang setiap pribadi suku dan lainnya di nusantara ini untuk kembali menghargai keunikannya sendiri dan menghargai keunikan-keunikan oarng lain. Di sini kemerdekaan itu akan benar-benar menjadi nyata dan tidak sekadar utopia seperti yang telah terjadi selama ini.

Ini bukanlah pemikiran profkatif dan tidak bertanggung jawab yang mampu menimbulkan disitegrasi bangsa. Pemikiran ini lebih kepada refleksi akan realita dan fenomena yang telah terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita telah telah dijajah oleh kebersamaan kita sendiri, kita telah dijajah oleh karena kita tidak dapat menghargai keunikan-keunikan dalam tubuh yang membentuk negara Republik Indonesia. Kita telah dijajah oleh pemikiran kita sendiri bahwa kita adalah sama sementara pada kenyataannya kita adalah unik dan berbeda. Marthin Buber telah berdosa berat karena telah menjerumuskan bangsa Indonesai ke dalam ngarai semboyan yang sarat maksiat (be contunue...) <nand>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar